Catatan Seorang Jurnalis di Hari Kemenangan

Cotidie News_Jagat Raya | Mengutif  khutbah Khatib saat berlangsungnya sholat Ied 1445 H yang menerangkan makna Iedul Fitri, tentunya tak lepas pula kita memaknai  prosesnya, setelah sebulan penuh umat muslim di seluruh jagat raya melaksanakan rukun islam yang ke 4 (empat) yaitu Berpuasa di bulan ramadhan,  dimana selama rentang waktu tersebut umat muslim diwajibkan untuk mengekang segala hawa napsu yang datang dari diri sendiri maupun yang datang dari luar.

Berpuasa berarti kita menahan napsu kita untuk tidak makan dan minum mulai dari masuknya waktu imsak  s/d takbir azan waktu magrib. dan dalam berpuasa juga kita dilarang untuk melakukan hal hal yang terkadang sering kita lakukan sehari hari dimana kalau kita lakukan itu berarti kita membatalkan puasa itu sendiri seperti merokok, melakukan hubungan seksual,berbohong, berghibah dan berbuat zalim.

Kembali ke makna Iedul Fitri ( jujur saya agak merinding menulis kalimat ini, gak tau kenapa . .  ) kalimat yang mengandung makna begitu dalam karena disitu tersimpan akumulasi segala hal tentang rasa dan perasaan,  ada yang merasa bahwa moment itu adalah akhir dari sebuah ujian, ada juga yang merasa bahwa moment itu adalah sebuah kebebasan, lepas dari segala kekangan hal hal yang memberatkannya, tapi mayoritas moment itu dimaknai sebuah kemenangan besar, menang dari bebagai ujian berpuasa  baik secara fisik maupun mental.

Tapi apapun itu maknanya Iedul Fitri.  penulis hanya ingin menyampaikan opini dan ajakan kepada para pembaca utamanya rekan seprofesi untuk mengaplikasikan segala bentuk ujian berpuasa di bulan ramadhan sebulan penuh dalam kehidupan dan tugas  kita sebagai seorang jurnalis.

Puasa mengajarkan kita untuk bersikap jujur , dalam pengaplikasiannya kita menulis berita harus sesuai fakta, apa yang kita lihat apa yang kita dengar itu yang kita jadikan berita sesuai dengan point ke 1 bersikap independent dan point ke 4 tidak membuat berita bohong  kode etik jurnalistik.

Puasa juga mengajarkan kita untuk selalu  khusnuzon ( Berprasangka baik) dalam pengaplikasiannya  sesuai dengan point ke  8 kode etik jurnalistik kita tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka tapi harus objektif.

Puasa mengajarkan kita untuk Tabayyun (teliti dalam menerima informasi, jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan atau menuduh orang lain yang tidak bersalah.) dimana dalam pengaplikasiannya kita harus selalu menguji informasi (point ke 3 kode etik jurnalistik ) ke berbagai narasumber agar menghasilkan berita yang berimbang pada saat  diterima masyarakat.

Finally puasa mengajarkan kita untuk tidak boleh sombong dimana dalam pengaplikasiannya sesuai point ke 6 kode etik jurnalistik kita tidak boleh menyalah gunakan profesi. Walau terkadang kita masih saja  menemukan rekan kita yang kita vonis sebagai oknum melakukan tindakan tindakan yang merusak marwah kita sebagai jurnalis dengan melakukan tindakan tindakan yang tidak sesuai dengan 10 point tentang kode etik jurnalistik.

Lepas dari acuan kode etik jurnalistik penulis hanya berharap Iedul Fitri  mengembalikan marwah kita sebagai mahluk sosial, mahluk yang tak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Begitupun saat kita tugas liputan, kebersamaan diatas segalanya satu rasa satu mata dengan rekan se profesi. Tak ada syak wasangka, yang ada hanya rasa persaudaraan dan kebersamaan, berbagi dalam segala hal baik informasi maupun materi, saling menjaga saling melengkapi karena kita satu profesi. (CN1)

 100 total views,  1 views today

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.